Soe Hoek Gie di mata mahasiswa adalah sesosok demonstran tahun 60 an,
dan di mata para pecinta alam dan penggiat alam bebas, Gie adalah anak
Mapala UI yang tewas di Semeru pada tahun 1969. Mati muda dalam usia 27
tahun di Semeru dan menjadi legenda pendaki Indonesia yang sampai kini
namanya masih teramat dekat dengan komunitas pecinta alam. Dan berikut
ini kisah sedikit dari Soe Hoek Gie yang di sarikan dari buku hariannya,
Catatan harian Seorang Demonstran, yang di perkuat oleh rekan pendakian ke Semeru waktu itu, Rudy Badil.
“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur,
kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia.
Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak
sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting
rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku
yang dibacanya.
Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun,
setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian
pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP
Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu
sebelum kematiannya.
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang
menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie
berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah
menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan
66.
Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan
Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media
masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa
Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang
menjadi anggota DPR-GR.
Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie
ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang
berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia.
Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak
terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan
Mohamad! “, kata Badil.
Tewas Di Puncak Semeru
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru,
begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu
setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan
Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung
Semeru.
Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak
karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie
saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan
mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi
gagal.
Musibah kematian Gie di puncak Mahameru
sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk
membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik
AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut
Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan
saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat
jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan
militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.
Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember
1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan
kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek
pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk
sisa-sisa tulang belulang Gie.
“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.
sumber
Artikel Populer
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR KAWAN